Category: Spiritual


1.jpgWah, 7 bulan lamanya gak update blog lagi. Aku kembali jika ada “tetek bengek” yang pengen kucurahkan tanpa orang harus mengetahuinya secara langsung. Yah. Ngomong soal kebaikan, mungkin kita tahu ada pepatah mengatakan, “Jika tidak bisa berbuat baik, setidaknya jangan berbuat jahat. Jika tidak bisa berkata baik, setidaknya jangan berkata kasar.”

.

Quote itu beneren gak memaksa dan adil menurut aku. Karena orang baik itu belum tentu dikatakan baik kalau hanya dia berbuat kebaikan. Gak buat jahat juga uda termasuk baik. Dan, orang yang bisa berbuat baik itu sebuah anugerah tambahan yang pantas disyukuri dan tidak perlu dibandingkan dengan yang tidak punya kesempatan untuk itu. Yah, tidak semua orang punya kesempatan dan kemampuan untuk bisa berbuat baik, dan kondisi tsb tidak perlu membuat adanya perasaan berkecil hati. Well, melalui berbagai pengalaman dan kondisi yang aku hadapi, ada berbagai kasus yang membuat hatiku penuh kejengkelan, dimana hal ini menyangkut dengan quote di atas.
.

Bisa bayangkan gak, ada kondisi dimana ada sebagian orang yang gak berbuat jahat tetapi mencegah orang untuk berbuat baik. Ya, mencegah! Bisa bayangkan gak, orang yang mau berbuat baik itu akhirnya jadi takut dan menyesal. Aku yang menyaksikan itu secara langsung rasanya kayak “Aduh, kok gitu sih jadi orang? Orang kalau mau berbuat baik, mana mau lagi. Situ dosanya kurasa gak beda jauh lagi sama orang yang berbuat jahat di luar sana. Duh duh duh.”

.

Aku sebenarnya gak bisa tinggal diam melihat kondisi seperti itu karena aku beneren sangat keras jika saya yakin ini adalah untuk kebaikan lebih banyak orang. Tetapi banyak pertimbangan yang membuatku untuk tidak memberontak. Yah, ada beberapa hal besar yang “terpaksa” harus menjadi prioritas utama yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Tapi saya beneren belajar satu hal yang beneren masuk di hati.

Ketika kita sudah memiliki suatu kedudukan ataupun wajah yang lebih terpandang, dan juga memiliki “deking” di belakang yang bisa aja membela kita walaupun kita salah, atau mungkin karena jasa kita yang telah berpuluh tahun sudah kita tabung dan bisa kita banggakan, well sebaiknya jangan jadikan itu sebagai alat penguasa yang bisa dimanfaatkan dengan semena-mena walaupun kita merasa kita benar.

Pembelajaran ini yang membuatku “takut” akan kekuasaan dan kedudukan. Dulu aku sangat ambisius dengan namanya “jabatan” karena rasanya keren dan bisa memerintah dengan gagahnya seperti pemimpin yang saya tonton di televisi/film. Tetapi setelah melihat beberapa contoh dimana banyak orang yang berubah 180 derajat ketika berada di posisi tersebut, aku beneren takut. Yes, T A K U T. Aku takut berubah dengan “GAK SADAR” dan merasa bawah orang yang telah berubah memandang diriku, dimana kenyataannya aku lah yang sudah berubah.

.

Dan, 1 lagi. Jangan jadi penyulut api alias tukang bakar, yang di belakang suka mengompori tetapi di depan pura-pura bego, mikirnya orang lain gak tau dan mikirnya juga orang lain itu bego, kiranya ini semua terjadi secara alami. Aku beneren sedang melihat drama yang sangat mengguncang emosional hati. Aku kadang pengen ketawa sangking keselnya berkata dalam hati, “Eh, ada aja yah orang seperti ini.” dan kadang pengen aja aku cubit pipinya, “Aduh, kamu ngeselin deh!”.

.

Yah, setelah berpikir sangat panjang, cara meluapkan kekesalan dengan emosional gak akan mengatasi permasalahan seperti ini. Aku hanya bisa mencurahkan lewat tulisan, dan mengambil hikmah pembelajaran dimana ini mengingatkanku untuk tidak menjadi orang seperti itu. Just as a self-reminder dan semoga kalian yang mengalami kondisi seperti ini, anggaplah untuk menguji kesabaran. Bagi sebagian yang mungkin merasa “tersindir”, yang pastinya tidak disengaja, tapi setidaknya kamu bisa mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan tindakan tsb, baik yang kamu sadari ataupun bisa aja tidak kamu sadari dan memahami bagaimana pandangan orang yang menyaksikannya dari sudut pandang yang berbeda.
.
Yah, aku sangat menyayangkan, jika orang yang sudah sangat lama berada di lingkungan yang baik tetapi menjadi “terlena” dengan kedudukan dan “aman” dengan memanfaatkan tameng dari orang-orang tertentu, yah aku rasa percuma saja. Dipandang secara luar itu bagus rupanya didalam terdapat beribu lika-liku permainan merangkai kata dan bersilat lidah.
 .
Terima kasih atas pengalaman dan pembelajaran ini.

forbes-quote-inspirational-insight-business-entrepreneur

Yah, tidak terasa sudah 3 bulan lamanya meninggalkan kegiatan menulis ini. Banyak hal yang sebenarnya ingin dicurahkan, namun di lain sisi, tidak semua hal itu perlu diungkapkan. Terkadang ada baiknya perlu kita lupakan dan pasrah membiarkan semuanya hilang dengan hembusan nafas panjang.

x

Tentu kita ingin bahagia dengan kehidupan yang kita jalani setiap hari. Bersosialisasi dan bekerja sama dengan orang lain adalah sebuah realita dimana kita akan banyak berjumpa dengan beragam sifat dan watak yang berbeda. Kadang bisa merasa jengkel dengan sebagian orang yang mempunyai prinsip yang kuat namun mengecewakan. Ada sebagian orang yang tidak teguh dengan prinsip hidupnya sehingga tidak ada pendirian dalam mengambil keputusan.

x

Mama sering bilang, “Jadi orang itu susah. Serba salah.” Iya, sih. Memang jadi orang itu susah, asal jangan sampai menyusahkan orang saja. Hidup ini hanya perlu penyesuaian dengan sebuah prinsip hidup yang tidak perlu terlalu keras. Pengalaman selama ini menyadari saya bahwa kuncinya adalah komunikasi dan pengertian.

Komunikasi tidak hanya sekedar mengeluarkan ucapan sendiri, namun juga meresap perkataan orang lain. Komunikasi itu mendengarkan dan memahami, bukan mengungkapkan dan menuruti.

Pengertian itu tidak hanya sekedar mengikuti lewat ucapan, namun menghormati lewat tindakan. Pengertian itu adalah kepercayaan dan lapang hati untuk menerima konsekuensi, bukan mengaturi dan menuntut kesempurnaan diri.

Semoga pengalaman dan pembelajaran hidup ini menjadi lebih berharga untuk penyadaran diri di masa mendatang. Inspirasi tulisan ini termotivasi dari artikel kontributor Forbes, Matt Rissell. Terima kasih.

Link artikel sepenuhnya: http://www.forbes.com/sites/mattrissell/2016/05/02/partnerships-are-the-kiss-of-death-heres-why-i-formed-one-anyway/#67c9f346f140

Beberapa minggu belakangan ini, saya banyak menghabiskan waktu di rumah. Menyendiri di ruang kerja, saya pun merasakan depresi yang membuat saya stagnan dan tidak produktif. Menghabiskan waktu di dunia maya dan bermain games hingga 4-6 jam setiap hari, saya merasa itu hanyalah sebuah pelampiasan untuk lari dari kehidupan nyata. Setelah rasa ngantuk menyadariku untuk berhenti, saya lalu menyesali bahwa apa yang saya lakukan itu tidak ada artinya di masa mendatang. Dengan berjanji dengan diri sendiri bahwa itu tidak akan terulang lagi, eh besoknya malah diulangi lagi. Setiap hari, terus-menerus, saya melakukan hal yang sama, namun saya terus membohongi diri sendiri. Saya menyadarinya namun tidak bisa melawannya. Saya tidak bisa melawannya, lalu saya pun menyesalinya.

Terkadang pikiran berimaginasi untuk merencanakan banyak hal untuk dilakukan, namun semuanya sirna ketika berakhir dalam tindakan. Menceritakan segala visi misi kepada orang lain agar mereka terkagum, namun sebenarnya saya sendiri belum tentu bisa merealisasikannya. Semuanya hanya rencana, namun tindakan belum tentu ada. Walaupun tindakan sudah ada, namun konsistensi akhirnya tiada.

Saya terus melawan diri saya sendiri, dan semakin dilawan, saya sebenarnya semakin tertekan. Ada sebuah sisi dimana saya ingin diperhatikan dan diberikan pujian. Mengharapkan respon dari setiap foto dan video yang saya unggah di sosial media, saya semakin terikat dengan terus menunggu setiap notifikasi agar batin ini terpuaskan. Dan ketika respon yang datang tidak seperti yang saya harapkan, tekanan kembali lagi datang dan berakhir dengan pelampiasan menghibur diri sendiri. Saya sadar, saya sudah tertarik cukup dalam di kehidupan maya. Yang saya korbankan adalah waktu di masa muda saya ini.

Saya semakin sadar bahwa saya memiliki dua sisi yang bertolak belakang dan saling melawan. Mereka berusaha ingin mendominasi namun saya yang berada di antara itu malah tidak bisa mengambil keputusan. Saya tertarik kesana kemari, tidak ada prinsip yang saya pegang teguh untuk melawannya. Saya sedang mencari tahu bagaimana saya harus menghadapi momen seperti ini. Momen ini tidak akan pernah hilang dan saya harus lebih siap ketika momen tsb kembali datang.

Sebenarnya saya sudah mencoba melawan, namun sisi tersebut semakin kuat dan mendominasi. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah berusaha merubah perspektif. Menerima sisi tersebut tanpa melawan dan menjadikannya sebuah batu loncatan untuk memperkuat sisi yang sebaliknya. Batin ini memang tidak pernah diam dan susah diatur. Naik turun kesana kemari, yang pada akhirnya saya harus memutuskan sisi mana yang harus saya pertahankan untuk dijadikan kebiasaan dan karakter diri. Saya yakin inilah ujian terberat di masa muda karena ini tidak hanya sekedar mencari jati diri, namun bagaimana melawan kebimbangan dan bertoleransi dengan dua sisi kepribadian dalam diri kita.

Tetap semangART!

Hey, I’m back! Finally! Hahaha..

Sebenarnya sesibuk apapun, saya tidak pernah melupakan blog ini, cuma saya sering terdiam ketika harus memulai sebuah tulisan. Banyak perspektif bercampur aduk di otak dan berebut untuk dicurahkan dalam tulisan, sedangkan jari-jari ini tidak sanggup untuk merealisasikan mereka semua.

 

Hari ini, saya berusaha untuk menentramkan mereka kembali dan bertoleransi untuk bisa bekerja sama menghasilkan sebuah tulisan yang bisa mewakili suara hati. Yah, “Sengenggam Penyesalan”. Hingga sekarang, di umur 25 tahun ini, saya masih sering bertanya kepada diri saya, “David, apa sih yang sudah kamu lakukan selama ini?” “Kamu hidup buat apa sih David?” “Apa yang sudah kamu kerjakan hingga saat ini?” “Apa yang sudah kamu hasilkan?” “Apa yang bisa kamu banggakan?” “Lihat tuh orang-orang di luar sana udah punya pekerjaan yang mapan.” “Itu tuh seumuran kamu udah jadi orang sukses, lihat kamu sekarang, punya apa?” “Ah, udahlah, lupakan saja la David kalau kamu bisa capai impian seperti itu.”

 

genggaman penyesalan info77 david wijaya medan davidwijaya91 doodle art medan dwskellington

Sekuat apapun, ada saatnya saya tidak bisa melawan pemikiran tersebut yang sering terbayang-bayang ketika tidak ada hal yang bisa saya banggakan dalam hidup. Sekuat apapun juga, ada saatnya saya harus menerima pemikiran tersebut sebagai sebuah genggaman penyesalan.

 

Terkadang saya sering melawan suara hati antara realita kehidupan dengan apa yang ingin saya perjuangkan. Kedua hal tersebut tidak sering sinkron berjalan, malah lebih sering bertentangan dan saling melawan. Banyak tulisan ataupun kata motivasi yang sering kita baca, bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mencintai apa yang kita kerjakan. Namun, itu sama sekali tidak gampang. Menjadi beda dari yang lain ibaratnya seperti menjadi ikan di daratan.

 

 

 

 

Terkadang tidak ada yang peduli seberapa tersiksanya ketika kita kehabisan oksigen yang tidak bisa kita hirup di daratan, seperti halnya ketika kita kehabisan motivasi untuk bisa bertahan dengan apa yang kita sukai untuk bisa menjadi sesuatu yang bisa kita banggakan.

 

Terkadang perjuangan tersebut memaksa kita harus kembali ke perairan agar kita tidak mati di tengah jalan dan ditertawakan oleh mereka yang berada di perairan. Terkadang ingin kembali namun hati ini menyisakan penyesalan dan sebuah gengsi yang tidak ingin diperlihatkan, karena kita menyerah dan kembali ke arah yang sudah dijalani mereka selama ini.

 

Yah, saya sering menyesali hal tersebut karena saya berada di tengah perjalanan, antara kembali atau maju, antara menyesal atau bertahan, dan antara berjuang ataupun pasrah. Saya tidak ingin menilai mereka di luar sana bahwa mereka itu sama dan saya lah yang ingin beda dengan yang lain, ataupun saya egois untuk tidak ingin disamakan dengan yang lain, namun sebenarnya saya hanya ingin mendengar kata hati yang lebih sering jujur menilai diri saya, ketimbang logika dan perspektif yang saya pikirkan selama ini. Suara hati kadang terlalu kecil sehingga saya mengabaikannya, sedangkan suara penyesalan terkadang lebih peduli sehingga menjadi genggaman kuat yang sulit dilepaskan.

 

Saya yakin, saya tidak sendiri merasakan hal ini. Saya juga yakin, banyak yang sedang memperjuangkan genggaman penyesalan mereka agar suatu saat mereka bisa melepasnya dengan sebuah senyuman dilandaskan keikhlasan. Dan saya semakin yakin, bahwa banyak yang sedang mengikuti kata hati mereka. Yah, sampai kapan kita bisa bertahan? Sampai kapan kita bisa memperjuangkannya? Dan, sampai kapan kita bisa membanggakannya? Yah, jawabannya sederhana: “Suatu hari nanti”. Kita tidak tahu kapan, namun kita tahu pasti ada hari dimana kita bisa menjawab semua pertanyaan tersebut. Ada hari dimana perjuangan kita menjadi seekor ikan di daratan akan menjadi sebuah cerita yang bisa dinostalgia diiringi senyuman dan tawaan, baik bagi diri kita maupun orang lain.

 

Yah, suatu hari nanti ~

 

Tetap semangART!

trust

Jika itu milikmu, dia tidak akan lari kemana. Jika itu bukan milikmu, sampai kemanapun dikejar, dia tidak akan pernah singgah dalam kehidupanmu. Bukanlah sebuah perasaan pasrah ataupun bergantung kepada takdir, namun lebih kepada bagaimana kita dapat semakin menghargai apa yang telah kita dapatkan & berikan, dan semakin mensyukuri orang-orang yang berada di sekeliling kita, yang telah meluangkan waktu hidup mereka untuk mengisi keseharian kita dengan penuh kesan. Tak lupa, hidup juga harus penuh perjuangan, mencapai apa yang kita mimpikan, membahagiakan orang-orang yang telah memberikan kita kehidupan yang berarti, dan menginspirasi mereka agar mereka dapat menjadi lebih baik lagi di setiap aspek kehidupan. Tetap semangART!

info77 picket fence pre school intenational medan davidwijaya91 medan blog sharing writing

Ada beberapa saat, pikiran saya sering berkhayal terlalu jauh. Melihat orang berjalan kesana-kemari, mobil dan motor yang setiap harinya memadati jalanan, hari libur yang membuat jalan sepi seketika, dan berbagai adegan kehidupan yang ketika saya pandang dengan cukup lama, seakan gerakan visual tersebut menjadi lambat dan membuatku bertanya dalam diri, “apa yang saya lihat? semua ini apa? apa yang mereka lakukan? apa yang saya pikirkan?”. Saya seakan seperti bayi baru lahir yang mencari tahu tujuan dari hidup ini seperti apa.

Apakah ini sebuah proses pencarian jati diri? Terkadang saya sering berpikir, bagaimana untuk menjadi diri yang berbeda dengan yang lain? Katakanlah tidak ada yang beda, apakah itu yang saya inginkan? Atau demi orang lain kita menjadi sebuah pribadi tertentu? Bagaimana untuk mendengar bisikan hati yang terdalam mengenai apa yang kita inginkan dalam hidup ini? Semua pertanyaan akan kembali dengan sebuah pertanyaan sederhana: Apa yang kita cari? Apa yang saya cari? Mencari suatu kesibukan baru yang kemudian akan membuatnya menjadi rutinitas. Rutinitas akan membuat sebuah proses pengulangan dan akan berjalan terus hingga suatu saat kita merasa bosan, atau mungkin konsentrasi sudah tidak sebegitu semangatnya seperti dulu, lalu kita pun berhenti.

Ada suatu ketika, saya sangat semangat menjalani hidup. Banyak tantangan dan target kehidupan yang ingin dicapai, deadline yang membuat kita tetap waspada, dan impian yang membuat kita tetap maju walaupun selangkah demi selangkah. Ada suatu ketika juga, hidup ini terlalu kosong penuh kejenuhan. Sulit mengatur diri seakan diri ini memberontak namun tidak dapat menenangkannya. Kebiasaan tidur pada saat dini hari, sekitar jam 1 atau 2, sedang menjadi perlawanan batin yang sampai sekarang masih sulit dilawan. Saya teringat, dulu saya pernah menasehati teman yang sering tidur di jam segitu, dan dengan mudahnya saya bercuap nasehat  dan segala perkataan positif sehingga itu terasa mudah bagi saya, namun sebenarnya tidak bagi orang yang berada di posisi tersebut.

Hidup yang membuat kita harus merasakan kekurangan agar bisa menghargai kelebihan. Merasakan sakit agar menghargai kesehatan. Merasakan kekecewaan agar menghargai kepercayaan. Dan, merasakan pengalaman agar menghargai kehidupan. Mungkin, hidup ini harus dibuat sederhana. Tidak perlu berpikir terlalu kompleks sejauh kita tidak merugikan orang di sekitar kita. Tidak perlu membandingkan sejauh kita hidup sesuai dengan kemampuan. Hidup memang harus dijalani sejauh kita masih memiliki jatah yang tidak tahu kapan itu akan habis. Saya hanya perlu sebuah prinsip hidup, ditambah konsistensi untuk mempertahankannya, beserta sebuah semangat dalam menjalaninya. Saya tidak ingin kecewa dimana pada akhirnya saya mendambakan waktu harus diulang kembali. Hidup ini memang seperti drama, namun drama kehidupan ini tidak bisa diputar kembali ataupun diulang seperti siaran ulang televisi.

Saya hanya perlu mencari waktu untuk terus merefleksikan diri, sejauh mana pikiran ini bertumbuh, sejauh mana prinsip hidup membuatku benar-benar hidup, dan sejauh mana saya bisa mendengar bisikan hati ini. Walaupun saya tidak menjamin tidak ada kekecewaan di akhir, namun setidaknya saya telah berusaha menyeimbangkan setiap aspek dalam kehidupan saya. Semoga saya bisa mengolah diri ini dengan baik. Sadar dengan sifat dan kebiasaan buruk yang sulit dilepas, dan mengatur waktu dengan baik agar kesempatan emas yang sudah datang tidak menjadi sia-sia. Terima kasih atas segala pengalaman hidup yang telah saya jalani sampai saat ini. Semoga jodoh baik selalu memberikan dukungan semangat yang positif agar hidup tidak hanya sekedar bernafas.

Rabu, 14 Oktober 2015

2:00 WIB

SISTEM PENYELEKSI MANUSIA

Terkadang pengalaman hidup mengajarkan banyak hal. Memberi kesempatan yang sering kali menjadi bahan perenungan dan refleksi diri. Tengah malam dengan suasana jalanan “Pang! Bung! Pang! Bung!” mewakili makhluk besi penggores aspal jalan di depan rumahku. Mereka cukup gagah berdiri tegak tak bernafas di tengah jalan saat cahaya matahari masih menerangi dunia. Yah, mereka perlu menemani saya menggoreskan beberapa kata sebelum mempersiapkan diri bersama bantal dan guling yang telah menunggu.

.

Sebuah pemikiran yang terlintas dari perbincangan kehidupan bersama ibu tadi siang dan sharing bersama teman-teman sekolah tadi malam, sejenak memberikanku sebuah konsep baru memandang kehidupan. Dari berbagai pengalaman hidup yang saya alami ataupun yang saya dengar dari pengalaman orang lain, kian hari serasa hidup ini semakin menuntut sebuah standarisasi. Sebuah tuntutan yang membuat kita harus menjadi lebih dan lebih dari sebelumnya. Yang mendorong kita untuk lebih baik dari orang lain, yang menghasut diri kita untuk memiliki lebih banyak dari orang lain, yang lama kelamaan meng-kotak-kan berbagai kelompok manusia akan sebuah status dan menggunakan sebuah tolak ukur terhadap setiap pribadi yang kita jumpai. Secara tidak langsung, ada sebuah tuntutan dimana jika kita tidak mencapai sebuah batas kewajaran, kita akan dijauhi dan dicap “aneh”. Kita seperti telah terprogram dan kondisi ini terasa telah menjadi sistem pengatur atau lebih tepatnya sistem penyeleksi manusia. Perbedaan menjadi nyata. Penyeleksian menjadi wajar.

.

Hanya segelintir orang yang mendapat acungan jempol karena keanehan dirinya yang telah berhasil membedakannya dengan orang lain. Namun, di luar dari segelintir orang “aneh” tersebut, yang mungkin tidak tersoroti, sedang berusaha bertahan dengan sebuah harapan bahwa ada orang aneh seperti dirinya yang akan memahaminya. Sebagian mungkin beralih dari keanehan menjadi normal seperti layaknya standarisasi manusia biasa agar tidak perlu memangku penderitaan batin tersebut. Kita mengejar sesuatu yang terkadang bukan untuk diri kita namun demi memuaskan pandangan orang lain terhadap kita, demi mencapai sebuah titik agar bebas dari batas penyeleksian. Kita serasa berhutang budi. Kita serasa dikontrol. Kita mungkin sebuah robot dari sistem kehidupan saat ini. Kita serasa hanya akan dipandang saat kita telah menyelesaikan misi tersebut. Yah! Prinsip hidup menjadi kacau. Tidak mudah lagi untuk mendengar bisikan kata hati. Bisikan hati yang kian lama akan tertutupi. Mungkin hati ini akan berbisik untuk terakhir kalinya: “Apakah layak untuk tetap menjadi aneh dengan berbekal benteng batin yang kebal serangan? Atau apakah harus mengikuti standarisasi yang kian tinggi agar lolos dari sistem penyeleksi manusia? Atau mungkin kita perlu berjuang mati-matian agar bukan saja bebas dari penyeleksian namun kita sendiri mampu memegang kuasa menyeleksi para manusia?”

David Wijaya Medan Indonesia davidwijaya91 info77 wordpress best good friend very chandra blia yad indonesia

(2011) Darwin – Yohannes – Chandra – Agus – Very

Tahun 2015 akhirnya sudah berjalan sekian hari hingga tak terasa bulan Januari akan segera terlewati. Memang sudah terlalu kebiasaan merasakan bahwa waktu selalu berjalan begitu cepatnya. Padahal 24 jam sehari masih perlu dimanfaatkan lebih baik lagi sehingga benar-benar bisa terasa bahwa waktu tidak berjalan cepat, juga tidak berjalan lambat. Tanpa disadari, waktu yang sebenarnya telah berjalan dengan normal seirama dengan detakan jantung setiap detiknya. Hanyalah perasaan diri ini yang membisikkan sebaliknya.

Awal tahun yang dihadapkan dengan ujian kehidupan. Awal tahun yang memerlukan kesabaran untuk menghadapi kondisi ketidaknyamanan. Awal tahun yang memacu kebulatan hati untuk menerima dan belajar dari pengalaman hidup. “Sabar adalah kekuatan. Sabar adalah kebijaksanaan. Sabar adalah kemurahan hati.” Begitulah kata bijak dari salah satu panutan saya dari seorang guru spiritual, Venerable Master Hsing Yun. Semoga saya bisa melewati ujian ini dengan penuh rasa syukur dan pembelajaran di masa mendatang.

Ada suatu waktu, saya sulit mengontrol gejolak batin yang tidak stabil. Secara sadar, fisik dikontrol dengan pasrahnya oleh pikiran, seolah-olah diri ini tidak dapat berbuat apa-apa. Terkadang perencanaan jelas dan semangat di awal dapat dengan mudahnya hilang, dan berubah haluan menjadi kemalasan dan penundaan. Namun, ketika semangat itu tiba, maka durasi tersebut hanya berjalan sekian waktu yang sangat cepat berakhir. Fisik dengan mudahnya memanjakan diri seolah-olah tidak ada tuan rumah yang menantikan perubahan yang lebih baik. Ada suatu waktu, saya bisa duduk termenung dan merasakan kekesalan yang luar biasa mendalam sehingga sering menyalahkan diri sendiri atas waktu yang telah terlewati dengan sia-sia.

Yah, kondisi ini saya sadari dengan sangat sadar, namun masih perlu kekuatan dan kebulatan tekad untuk mengatasinya. Batin dan fisik memang harus seimbang. Inilah target yang masih harus saya perjuangkan di tahun ini. Misi keseimbangan hidup yang tidak akan habisnya selesai karena hidup memang perlu senantiasa diseimbangkan dan disesuaikan dengan berbagai sebab dan kondisi.

Blog merupakan refleksi dari sebuah sisi yang berbeda dalam diri saya. Tidak banyak harapan selain sebuah refleksi terhadap diri sendiri agar tidak hanya termenung dalam larutan kehampaan hidup, namun dapat bangkit untuk menjadi sebuah pohon dengan akar spiritual yang kokoh dan berkualitas. Saya yakin, ada sebuah sudut pandang yang perlu menjadi pertimbangan saat kita menyoroti diri dalam sisi spiritual. Yah. Sebuah pembelajaran. Sebuah pengalaman. Tetap semangat!

“Yesterday I was CLEVER, so I wanted to change the world.

Today I am WISE, so I am changing myself.”

– – – Rumi