Hey, I’m back! Finally! Hahaha..

Sebenarnya sesibuk apapun, saya tidak pernah melupakan blog ini, cuma saya sering terdiam ketika harus memulai sebuah tulisan. Banyak perspektif bercampur aduk di otak dan berebut untuk dicurahkan dalam tulisan, sedangkan jari-jari ini tidak sanggup untuk merealisasikan mereka semua.

 

Hari ini, saya berusaha untuk menentramkan mereka kembali dan bertoleransi untuk bisa bekerja sama menghasilkan sebuah tulisan yang bisa mewakili suara hati. Yah, “Sengenggam Penyesalan”. Hingga sekarang, di umur 25 tahun ini, saya masih sering bertanya kepada diri saya, “David, apa sih yang sudah kamu lakukan selama ini?” “Kamu hidup buat apa sih David?” “Apa yang sudah kamu kerjakan hingga saat ini?” “Apa yang sudah kamu hasilkan?” “Apa yang bisa kamu banggakan?” “Lihat tuh orang-orang di luar sana udah punya pekerjaan yang mapan.” “Itu tuh seumuran kamu udah jadi orang sukses, lihat kamu sekarang, punya apa?” “Ah, udahlah, lupakan saja la David kalau kamu bisa capai impian seperti itu.”

 

genggaman penyesalan info77 david wijaya medan davidwijaya91 doodle art medan dwskellington

Sekuat apapun, ada saatnya saya tidak bisa melawan pemikiran tersebut yang sering terbayang-bayang ketika tidak ada hal yang bisa saya banggakan dalam hidup. Sekuat apapun juga, ada saatnya saya harus menerima pemikiran tersebut sebagai sebuah genggaman penyesalan.

 

Terkadang saya sering melawan suara hati antara realita kehidupan dengan apa yang ingin saya perjuangkan. Kedua hal tersebut tidak sering sinkron berjalan, malah lebih sering bertentangan dan saling melawan. Banyak tulisan ataupun kata motivasi yang sering kita baca, bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan mencintai apa yang kita kerjakan. Namun, itu sama sekali tidak gampang. Menjadi beda dari yang lain ibaratnya seperti menjadi ikan di daratan.

 

 

 

 

Terkadang tidak ada yang peduli seberapa tersiksanya ketika kita kehabisan oksigen yang tidak bisa kita hirup di daratan, seperti halnya ketika kita kehabisan motivasi untuk bisa bertahan dengan apa yang kita sukai untuk bisa menjadi sesuatu yang bisa kita banggakan.

 

Terkadang perjuangan tersebut memaksa kita harus kembali ke perairan agar kita tidak mati di tengah jalan dan ditertawakan oleh mereka yang berada di perairan. Terkadang ingin kembali namun hati ini menyisakan penyesalan dan sebuah gengsi yang tidak ingin diperlihatkan, karena kita menyerah dan kembali ke arah yang sudah dijalani mereka selama ini.

 

Yah, saya sering menyesali hal tersebut karena saya berada di tengah perjalanan, antara kembali atau maju, antara menyesal atau bertahan, dan antara berjuang ataupun pasrah. Saya tidak ingin menilai mereka di luar sana bahwa mereka itu sama dan saya lah yang ingin beda dengan yang lain, ataupun saya egois untuk tidak ingin disamakan dengan yang lain, namun sebenarnya saya hanya ingin mendengar kata hati yang lebih sering jujur menilai diri saya, ketimbang logika dan perspektif yang saya pikirkan selama ini. Suara hati kadang terlalu kecil sehingga saya mengabaikannya, sedangkan suara penyesalan terkadang lebih peduli sehingga menjadi genggaman kuat yang sulit dilepaskan.

 

Saya yakin, saya tidak sendiri merasakan hal ini. Saya juga yakin, banyak yang sedang memperjuangkan genggaman penyesalan mereka agar suatu saat mereka bisa melepasnya dengan sebuah senyuman dilandaskan keikhlasan. Dan saya semakin yakin, bahwa banyak yang sedang mengikuti kata hati mereka. Yah, sampai kapan kita bisa bertahan? Sampai kapan kita bisa memperjuangkannya? Dan, sampai kapan kita bisa membanggakannya? Yah, jawabannya sederhana: “Suatu hari nanti”. Kita tidak tahu kapan, namun kita tahu pasti ada hari dimana kita bisa menjawab semua pertanyaan tersebut. Ada hari dimana perjuangan kita menjadi seekor ikan di daratan akan menjadi sebuah cerita yang bisa dinostalgia diiringi senyuman dan tawaan, baik bagi diri kita maupun orang lain.

 

Yah, suatu hari nanti ~